Pangdam XIV/Hasanuddin Support Kegiatan Gerakan Budaya "Sipakatau" 114 Hari

Pangdam XIV/Hasanuddin Support Kegiatan Gerakan Budaya "Sipakatau" 114 Hari

iTimes - Panglima Kodam XIV Hasanuddin, Mayjen TNI Andi Muhammad Bau Sawa Mappanyukki, SH, MH, mempersilahkan “Istana Jongaya” atau “Rumah Sejarah” miliknya menjadi tempat mengawali kegiatan Gotong Royong Gerakan Kebudayaan dari Sulawesi “Sipakatau” yang berlangsung selama 114 hari, dari 31 Juli hingga 11 November 2022 di Makassar.

Istana Jongaya atau rumah sejarah di Jalan Kumala, Makassar, milik Pangdam Andi Muhammad yang juga cucu Raja Bone ke-32, Andi Mappanyukki, dibangun oleh leluhurnya tahun 1834 dan menjadi tempat bertemu para raja, pejuang revolusi, pemuka agama yang melakukan perlawanan terhadap penjajah seperti Soekarno, Hatta, Nasution, AP Petta Rani, Andi Jemma, Wolter Monginsidi dan lainnya yang kini semuanya tercatat sebagai pahlawan nasional.

Pangdam Andi Muhammad mempersilahkan Gotong Royong Gerakan Kebudayaan dari Sulawesi menggunakan Istana Jongaya untuk pembukaan rangkaian kegiatan Sipakatau saat menerima Ketua Panitia, Dr Halilintar Latief dan Ketua Devisi Publikasi dan Umum, Fredrich Kuen, MSi serta rombongan panitia meminta izin penggunaan istana tersebut pada 31 Juli 2022 untuk acara pembukaan Gerakan budaya Sipakatau di Rujab Pangdam di Makassar, Rabu.

Sebelum mengiyakan penggunaan Istana Jongaya, Pangdam menawarkan penggunaan istana kerajaan adat Gowa “Balla Lompoa” di Sungguminasa, Gowa,

Selain itu, Pangdam juga bertanya tentang sumber dana untuk mendukung kegiatan yang begitu lama (114 hari), kenapa tidak menyentuh pemerintah, padahal alokasi dana pelastarian budaya dipastikan ada serta juga ditanyakan cara mengorganisir event budaya yang beragam dan dilaksanakan di berbagai tempat.

Baca Juga : Ketua PW PERGUNU Sulteng Gelar Seleksi Beasiswa IKHAC

Antropolog yang juga Budayawan Halilintar saat itu menolak menggunakan “Balla Lompoa” Gowa dengan alasan bahwa Gerakan Budaya “Sipakatau” adalah upaya melestarikan budaya, membangun monumen ingatan dan bukan monumen bersifat fisik. Sedangkan Balla Lompoa untuk saat ini tidak mencerminkan sebagai pusat budaya karena dalam penguasaan Pemerintah Kabupaten setempat, bukan oleh pewaris kerajaan adat setempat, ketidakjelasan ini bukan contoh yang baik.

Sedangkan pilihan kepada Istana Jongaya sebagai tempat acara pembukaan Gerakan budaya gotong royong Sipakatau karena faktor kesejarahan. Rumah Sejarah Istana Jongaya dahulu adalah tempat penting karena tempat berkumpul para pejuang, para raja raja pejuang, para ulama dan tempat pembinaan keagamaan. Semuanya itu masih ada bukti yang tersimpan di istana tersebut.

Halilintar mengakui, hingga menjelang pelaksanaan Gerakan budaya ini, belum ada bantuan dari pemerintah dan memang tidak meminta, melainkan berupaya menggalang dana budaya bagi masyarakat yang mendukung upaya pelestarian budaya serta tetap membuka diri bila ada istitusi yang akan membantu.

Fredrich menambahkan, semua event budaya yang beragam dan menyebar dilaksanakan oleh komunitas dan pendanaannya untuk saat ini dilakukan secara swadaya dan gotong royong.

Semua event budaya yang menyebar dan beragam dengan berbagai pelaku semua tergabung dalam gotong royong Gerakan kebudayaan Sipakatau, ujarnya.

Saat pembukaan “Sipakatau” di Istana Jongaya dilakukan kegiatan Pidato Kebudayaan, Doa Kebangsaan, Puisi bersahut serta kegiatan tradisi/budaya Mattompang (Pencucian Keris Pusaka) yang dilakukan oleh Komunitas Badik Celebes.

Baca Juga : Sejumlah Lembaga/Komunitas Dan Poltekpar Makassar Siap Sukseskan Kegiatan 114 Hari Gotong Royong Kebudayaan Sipakatau

Fredrich yang juga Ketua Umum Jurnalis Milenial Bersatu Indonesia (JMBI) menambahkan, peristiwa-peristiwa dalam “Gerakan Kebudayaan” ini melibatkan partisipasi aktif berbagai kalangan lintas generasi, lintas iman, lintas suku, dan beda status sosial. Berbagai profesi dan golongan tersebut adalah tokoh agama dari enam agama resmi, tokoh masyarakat, pemangku adat dan kerajaan, tokoh adat, budayawan, seniman, penggerak kebudayaan se sulawesi, sejarawan, arkeolog, antropolog, tenaga medis, pengemudi ojek online dan taxi, para guru, siswa, mahasiswa, dan pemuda.

Beberapa lembaga/komunitas pelaku budaya yang telah siap berkontribusi secara langsung antara lain, RAS (Rachim Assagaf Foundation), Badik Celebes, Latar Nusa, LAPAR (Lembaga Advokasi Anak rakyat) Sulsel, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya NU) Sulsel, Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah, Fatayat, Gusdurian, Pemuda Anshor, Walhi, Walubi, Pambudhi, INTI, OASE, Aliansi Perdamaian, AJI, MARSI (Majelis Agung Raja Sultan Indonesia), FSKN (Farum Silarturahim Kraton Nusantara), MAKN, Majelis Turunan Tumanurung, Lembaga Adat Sanrobone,

Selain itu, Yayasan Jole-jolea, Lembaga Adat Karangta Data, Lembaga Adat Marusu, Lembaga Adat Simbang, Lembaga Adat Tanralili, Lembaga Adat Siang, Ika Dipo, Forum Kerajaan & Kekeluargaan Adat se Sulawesi, Komunitas Kajang, Komunitas Bissu (Bone, Wajo, Pangkep), Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sulsel, Forum Bela Negara, Forum Pemaju Budaya Sulawesi, ABRI, POLRI, KSN Sehati, Gammara, Organisasi Penyandang Disibilitas Sulsel, LBH Makassar, berbagai organisasi kampus (Badan Eksekutif Mahasiswa, Unit Kesenian Mahasiswa, Osis, Palang Merah Remaja, Pramuka dan lainnya, ujarnya.

Halilintar menambahkan, “Sipakatau” berasal dari Bahasa Bugis dan Makassar yang berarti saling memuliakan manusia.

Gerakan budaya “Sipakatau” ini membopong nilai luhur gotong royong, kesetiakawanan, rela berkorban untuk bangsa dan negara. Ini sebagai suatu strategi penting agar masyarakat umum sadar penuh soal siapa dan apa kita sebagai Indonesia, dan kemana kita akan menuju maju bagi negeri tercinta.

Baca Juga : DPP Jurnalis Milenial Bersatu Indonesia Gelar Pelatihan Untuk Pimred Dan Owner Media

Selain itu akan semakin “memperteguh komitmen persatuan dan kesatuan” sebagai bangsa yang “mewarisi nilai-nilai budaya”.

Ruang-ruang sosial yang tercipta dalam gerakan ini sekaligus dapat dijadikan arena strategis pembentukan “karakter bangsa” memperteguh jatidiri sambil merawat keberagaman. Karena itu, “Sipakatau” juga adalah wadah dalam “promosi toleransi” dan mendorong tradisi budaya sebagai pelopor dalam menyongsong masa depan yang lebih baik, ujarnya.

“Sipakatau” akan menciptakan ruang perjumpaan yang memberikan interaksi budaya antara generasi dan berbagai strata sosial yang saling memperkaya, memperkuat, dan mampu melahirkan budaya baru yang inklusif. Peristiwa ini dapat menjadi model mekanisme integrasi nasional Indonesia secara empiris berdasarkan pada suara-suara otentik warga negara Indonesia dari berbagai status sosial melalui seni dan budaya, ujarnya.

Dia menambahkan, kegiatan utama dalam membangun monumen ingatan kebangsaan ini antara lain adalah: Mattompang (pencucian keris), Abbattireng ri Polipukku (turunan pahlawan untuk negeriku/hari pahlawan), jejak pahlawan, dan reka ulang kejadian pemakaman kembali “Robert Wolter Mongisidi” setelah ditembak mati.

Kegiatan utama lainnya adalah ”Paliliq Bate-bate” (Arakan bendera-bendera pusaka) akan berkeliling ke 23 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan serta Parade Bendera Pusaka Hari Sumpah Pemuda di Leang-leang Maros. Pada Peringatan Sumpah Pemuda tersebut akan digelar pula konser “Suara Purba” karya Otto Sidarta, dan deklarasi kebudayaan.

Selain itu, berbagai peristiwa budaya penting dilakukan di beberapa tempat; misalnya, Bajeng Fair 2022 (1-14/08/2022), Hari Bahari (28/08/2022), Hari Tari Sulawesi I, Pelantikan MAKN Maros, berbagai upacara tradisi dan inovasi, ziarah, Pidato Kebudayaan, Doa Kebangsaan, Kongres Kebudayaan Sulsel III, Pertemuan adat, Pagelaran Bhinneka Tunggalan Ika (setiap tanggal 28), Workshop Seni Bela Negara, berbagai Lomba seni (poster, puisi, fotografi, video), Pameran Ekonomi Kreatif di Benteng Somba opu Makassar, dan lainnya, ujarnya. (FK/MK).

(Tim Network News

Previous Post Next Post